Bagaimana Mengukur Komitmen K3

Bagaimana Mengukur Komitmen K3
Bagaimana Mengukur Komitmen K3

“Jika sesuatu tidak bisa diukur maka hal itu tidak dapat dikembangkan.” Ini quote yang diberikan oleh Dan Petersen dalam bukunya Human Error Reduction and Safety Management. Quote ini berlaku di semua aspek K3 termasuk komitmen K3.

Banyak praktisi K3 dan ahli K3 umum, juga bahkan ada beberapa akademisi K3, yang menganggap bahwa komitmen K3 itu adalah suatu elemen K3 yang statis atau sering diartikan komitmen itu adalah sesuatu yang “tertulis” saja. Pemikiran seperti ini memang tidak dapat disalahkan karena beberapa pihak tersebut masih “terjebak” dalam pemikiran bahwa komitmen itu kebijakan yang ditulis atau isi kebijakan merupakan komitmen organisasi.Komitmen K3 memang membutuhkan aksi untuk dapat diukur dan diperbaiki.

Namun terkadang banyak praktisi K3 masih kesulitan bagaimana mengukur komitmen tersebut. Bahkan banyak pula praktisi yang meyakini bahwa komitmen K3 itu abstrak untuk diukur. Keyakinan banyak berasal dari kondisi top management yang belum buy-in terhadap esensi K3 itu sendiri. Komitmen K3 merupakan bentuk kesanggupan dan kesungguhan top management terhadap upaya untuk menihilkan deviasi atau mengendalikan kerugian, utamanya pada manusia dan lingkungan.

Beberapa aktifitas yang dapat dipakai sebagai indikator terhadap komitmen K3 adalah :

  1. Partisipasi dalam berbagai kegiatan yang mengarah pada zero deviation.
    Partisipasi sendiri terdiri dari 2, yaitu:

    Pertama, Partisipasi Direktif – dimana top management berinteraksi secara langsung dengan semua elemen SDM yang ada dan hanya membahas semua hal yang berpotensi memberikan kerugian namun top managemen berperan penuh mengendalikan semua kegiatan K3. Top management akan menentukan apa saja yang “do” dan apa saja yang “don’t” dalam kegiatan. Sekilas disini tampak bahwa top managemen memegang kendali semua kegiatan K3 dan ini seolah bagian dari komitmen management terhadap K3. Model komitmen seperti ini sebenarnya baik karena peran top management akan terlihat aktif namun partisipasi tipe ini akan mereduksi peran aktif dari para pekerja yang juga memiliki pengaruh signifikan dalam mendukung komitmen K3 tersebut.

    Kedua, Partisipasi Partisipatoris – dimana top management memposisikan diri sebagai “platform” dan “supporting agent” bagi semua kegiatan K3 yang dirancang dan dijalankan oleh para stake holder K3, utamanya para pekerja K3 yang berada dan merasakan langsung di area lingkungan kerjanya. Top management memposisikan diri sebagai advisor dan sekaligus coach bagi para line supervisor dan pekerja K3. Model partisipatoris ini akan membangun kognitif semua SDM organisasi terhadap esensi K3 dan sekaligus membangun mutual-trust bahwa top management betul-betul unquestionable dalam menjalankan upaya nihil deviasi. Kedua model partisipasi di atas merupakan bentuk komitmen K3 yang paling dapat dilihat dan diukur.
  2. Penyediaan akses data dan informasi terhadap semua hal yang terkait dengan penerapan K3.
    Komitmen K3 top management K3 dapat juga dilihat dari seberapa besar top management memberikan jaminan kemudahan atas semua akses data dan informasi terkait K3. Top managemen yang menunjukkan kesungguhan terhadap kesuksesan atas upaya menihilkan kerugian selalu membuka semua bentuk informasi K3 yang akan dan telah dilakukan oleh top management tersebut. Kemudahan mendapat informasi mengenai budget/anggaran K3, utama program K3 usulan para pekerja apa saja yang didanai secara prioritas dan berkesinambungan, merupakan indikator yang riil dari komitmen K3 top management. Makin sulit atau makin tertutup akses untuk mendapatkan informasi terkait anggaran ini biasanya makin rendah komitmen K3 top management tersebut.

    Indikator yang lain adalah tersebarnya hasil-hasil rapat para eksekutif organisasi mengenai apa saja yang dibahas yang berhubungan dengan K3. Tujuan utama top managemen atau para eksekutif organisasi melakukan ini adalah para pekerja dapat memberikan umpan-balik (feedback) atas berbagai hal yang berhubungan dengan K3 yang telah diputuskan oleh top management tersebut. Top Management meyakini bahwa apapun yang telah diputuskan pada level eksekutif maka pekerja di area lingkungan atau front-line supervisor itulah yang paling besar terkena dampak dari keputusan tersebut. Risiko terbesar inilah yang menyadarkan para eksekutif yang ada di top management untuk tidak bersikukuh menganggap keputusan yang telah dibuat merupakan keputusan yang “benar”.

    Akses yang besar terhadap hasil rapat K3 ditingkat para eksekutif ini akan memberikan keyakinan kepada pekerja untuk menjalankan semua program-program K3 secara sadar dan penuh kesungguhan. Sekali para pekerja diberikan ruang untuk memberikan umpan-balik terhadap berbagai keputusan K3 top management maka saat itulah para pekerja itu akan terbangun kepedulian yang besar akan pentingnya mendukung program K3 yang sudah dicanangkan. Ini artinya komitmen K3 top management sudah dirasakan secara nyata oleh para pekerja.
  3. Learn from failure and promote to success.
    Mendahulukan mencari akar-akar keberhasilan program K3 dibandingkan dengan mempermasalahkan akar-akar kegagalan juga merupakan salah satu indikator komitmen K3 top management. Bila top management cenderung mengungkit-ungkit dan membahas berulang-ulang akar-akar kegagalan tanpa memberikan motivasi bagaimana mencegah terulangnya akar masalah kegagalan tersebut maka komitmen K3 top managemen tersebut dapat dipastikan masih sebatas kepada “lip service” atau “tertulis tanpa realitas”. Ini artinya juga komitmen K3 yang tak terukur/tak dapat dijadikan indikator.

    Sebaliknya bila top management memiliki “kebiasaan” untuk selalu membicarakan/mendiskusikan semua akar-akar atau penyebab terjadinya pencapaian yang positif dalam program-program K3 maka dapat dipastikan komitmen K3 merupakan parameter improvement K3 yang dapat diukur dan dianalisis.

    Komitmen K3 top management dapat diartikan sebagai salah satu bentuk kepedulian top management pada K3. Semakin peduli membahas “root to success” dalam program K3 maka semakin peduli top management tersebut atau semakin tinggi komitmen top management tersebut pada K3.
  4. Fokus pada proses yang benar.
    Komitmen K3 top management merupakan juga sebuah hasrat yang lebih mengutamakan proses dibandingkan hasil. Top managemen yang benar selalu percaya bahwa dengan bertumpu pada perencanaan yang benar akan dihasilkan proses yang benar dan setiap proses yang benar akan memberikan hasil-hasil yang benar pula. Ini artinya perencanaan yang benar pasti membutuhkan peran aktif mereka sebagai pemimpin. Keberadaan top managemen yang aktif dalam setiap perencanaan K3 dapat memberikan motivasi positif pada semua elemen organisasi untuk menjalankan semua proses aktifitas-aktifitas dalam meraih keuntungan dengan tetap mengutamakan nihil deviasi.

    Ini artinya kegagalan apapun yang terjadi pada hasil (terjadinya insiden atau kerugian yang muncul) merupakan “buah” dari perencanaan yang tidak benar dan ini artinya juga bahwa top management tidak terlibat secara aktif dalam setiap tahapan perencanaan program K3. Semakin tidak terlibat (entah itu sebagai facilitator atau sebagai advisor) maka dapat dikatakan semakin “miskin” komitmen K3. Ini sama halnya komitmen K3 top management semakin tidak bisa diukur dan program K3 semakin tidak bisa diperbaiki secara terus-menerus (zero improvement on Occupation Health and Safety concern).

“There is no success to prevent any loss without deeply involvement of peoples who have powerful decision-making” ungkap Scott Geller dalam bukunya The Psychology of Safety Handbook

Referensi:

  • Dominic Cooper “Toward Safety Culture Model”
  • Thomas Krause “Leading with Safety”
  • Terry Mc Sween ” The Value Based Safety Process”
  • Stain Antonsen “Safety Culture Theory and Model”
  • Frank Guldenmend “Safety Culture”

Sumber: Roslinormansyah, 2016

Mari baca artikel lainnya tentang K3: Bekerja Aman dengan Semen